Hukum Properti di Indonesia adalah serangkaian aturan yang mengatur pengendalian atas tanah dan / atau bangunan di Indonesia. Ini berkaitan dengan sewa dan jual beli. Sumber hukum termasuk KUH Perdata, UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Untuk beberapa daerah di Indonesia, hukum adat masih berlaku.
Menurut undang-undang, ada lima jenis hak properti:
1. Hak Milik
2. Hak Guna Bangunan
3. Hak Guna Usaha
4. Hak Pakai
5. Hak Sewa
Hak Milik digunakan untuk ruang perumahan atau komersial, namun lebih sering digunakan untuk properti berupa rumah tempat tinggal, dan pemegang Hak Milik mendapatkan hak kepemilikan yang tidak terbatas. Tanah dengan Hak Milik hanya dapat dimiliki oleh orang Indonesia dan badan hukum Indonesia.
Hak Guna Bangunan memberikan hak untuk membangun dan memiliki bangunan di atas sebidang tanah, yang teruntuk warga negara Indonesia dan badan hukum yang berada di Indonesia. Perusahaan penanaman modal asing (Penanaman Modal Asing – PT PMA) termasuk dalam kategori badan hukum yang berada di Indonesia.
Hak Guna Usaha digunakan untuk keperluan perkebunan, perikanan atau peternakan dan diberikan kepada warga negara Indonesia.
Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan atau mengolah tanah yang dimiliki oleh Negara maupun perorangan. Menurut peraturan pelaksanaan, Hak Pakai dapat diberikan untuk maksimum 25 tahun dan harus melakukan ulang proses dari awal apabila ingin memperbarui. Proses ini sama untuk orang Indonesia, orang asing, orang Indonesia dan badan hukum asing.
Hak Sewa dibagi menjadi dua jenis yaitu sewa untuk tanah dan sewa untuk bangunan.
Bagaimana kami dapat membantu Anda...
DUE DILLIGENCE: Meninjau semua dokumen, kepemilikan, dan latar belakang properti sebelum penutupan.
PENINJAUAN DAN MENYIAPKAN DOKUMEN: Uzuan F Marpaung Law Firm akan meninjau dan menyusun kontrak jual beli, sewa, dokumen-dokumen properti dan juga pada saat pemindah tanganan.
SKBG Satuan Rumah Susun
Aturan mengenai sertifikat kepemilikan bangunan gedung (SKBG) satuan rumah susun (sarusun) sudah muncul sejak diundangkannya undang-undang nomor 20 tahun 2011 tentang rumah susun, yang kemudian beberapa ketentuannya diamandemen di dalam undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Setelah undang-undang cipta kerja, peraturan pemerintah yang mengatur lebih lanjut tentang SKBG segera terbit di bulan Februari 2021 yang kemudian dilanjutkan dengan pengundangan peraturan menteri pekerjaan umum dan perumahan rakyat nomor 17 tahun 2021 tentang bentuk dan tata cara penerbitan SKBG sarusun di bulan April 2021. Dengan ketiga instrumen hukum ini, ketentuan tentang SKBG seharusnya sudah dapat diimplementasikan oleh para pemangku kepentingan. Artikel ini akan membahas tentang konsep dan pemahaman SKBG berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sesuai definisi undang-undang, SKBG adalah tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas barang milik negara/daerah berupa tanah atau tanah wakaf dengan cara sewa. Dari definisi tersebut tampak bahwa SKBG adalah bukti kepemilikan, serupa dengan sertipikat tanah sebagai tanda bukti kepemilikan hak atas tanah. Namun, SKBG hanya meliputi kepemilikan sarusun, bukan hak atas tanah.
Selain itu, SKBG hanya relevan jika bangunan rumah susun (rusun) dibangun di atas tanah yang merupakan barang milik negara/daerah atau tanah wakaf. Barang milik negara/daerah (BMN/D) secara esensial adalah barang yang dimiliki oleh pemerintah pusat atau daerah yang diperoleh berdasarkan APBN/D atau dari perolehan lain yang sah. Tentu, BMN/D berbeda dengan tanah wakaf, karena tanah wakaf tidak berasal dari APBN/D melainkan dari proses perwakafan tanah. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa SKBG dapat diterbitkan untuk sarusun yang dibangun baik di atas tanah yang adalah suatu BMN/D atau di atas tanah wakaf.
Ada unsur lain di dalam definisi yaitu “dengan cara sewa.” Jika tanah disewa, maka tidak ada peralihan BMN/D berupa tanah atau tanah wakaf kepada pihak ketiga. Sewa esensinya adalah penguasaan atas barang tertentu dalam jangka waktu tertentu dengan membayar suatu nilai tertentu. Dengan hanya menyewa tanah, maka tanah tersebut tidak dapat dimiliki oleh pemegang SKBG. Pemegang SKBG hanya akan menjadi pemilik dari sarusun di atas BMN/D berupa tanah atau tanah wakaf tersebut, alias, hanya memiliki bangunan. Kepemilikan tanah tetap dipegang oleh pemilik BMN/D atau oleh nazhir. Undang-undang memberi pengaturan bahwa sewa tersebut dapat dilangsungkan untuk jangka waktu selama 60 tahun.
Pertanyaan berikutnya, apakah SKBG berlaku untuk semua jenis rusun? Undang-undang telah membatasi bahwa selain di atas tanah hak (hak milik, hak guna bangunan, dan hak pakai), rusun juga dapat dibangun di atas BMN/D berupa tanah atau tanah wakaf. Namun, jenis rusun yang dimaksud undang-undang adalah rusun umum, yaitu rusun yang diselenggarakan untuk kepentingan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Kontras dengan rusun komersial yang umum dikembangkan oleh pengembang swasta. Untuk itu, agar MBR dapat menjangkau harga beli sarusun yang diterbitkan SKBG, tarif sewa antara pemilik BMN/D berupa tanah, dalam hal ini pemerintah pusat/daerah, dan juga untuk tanah wakaf, ditetapkan oleh pemerintah.
Sebagai salah satu bukti kepemilikan sarusun, dan jelas bahwa SKBG tidak mencakup hak atas tanah, yang berarti tidak ada hak atas tanah bersama, apakah SKBG mencakup benda bersama dan bagian bersama dalam suatu rusun umum? Jawabannya adalah ya. SKBG mencakup benda bersama dan bagian bersama, meski tidak mencakup tanah bersama. Ini menunjukkan bahwa memiliki SKBG berarti selain memiliki sarusun, kepemilikan juga meliputi segala fasilitas yang disediakan di dalam rusun dan segala yang menempel dan tertutup di dalam bangunan rusun, seperti berbagai instalasi, saluran-saluran, mechanical & electrical, dll. Tentunya kepemilikan tersebut berdasarkan Nilai Perbandingan Proporsional (NPP).
Dari pemahaman terhadap undang-undang, sejak awal, tujuan pembuatan instrumen SKBG adalah untuk menurunkan harga jual sarusun. Penurunan harga jual sarusun ini (seharusnya) terjadi karena komponen tanah tidak turut dijual ke konsumen. Yang dijual hanya-lah bangunan dan fasilitas-fasilitasnya meski tetap memperhitungkan komponen biaya sewa yang telah dibayarkan. Dengan penyelenggaraan rusun umum dengan penerbitan SKBG, di satu sisi, pemerintah pusat/daerah tidak kehilangan tanah berupa BMN/D yang dimilikinya. Di sisi lain, MBR tetap dapat mempunyai sarusun dengan tanda bukti kepemilikan yang legitim secara hukum dengan harga yang lebih terjangkau. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengaturan SKBG adalah jalan tengah bagi para pemangku kepentingan perumahan.